Aku Harus Gimana?


 
Petang itu dihabiskan dengan menghirup aroma air hujan yang turun membasahi bumi. Derap langkah mulai terdengar, tanda orang-orang sudah beranjak dari tempat berteduh sesaat untuk melanjutkan perjalanan. Langit yang mendung pun disinari oleh cahaya jingga perpaduan mentari dan lentera jalanan.

Gelisah.

Itu adalah sebuah kalimat (atau lebih tepatnya, perasaan) yang terlintas di benak seseorang di sana. Ia yang tengah memandangi betapa waktu cepat menggerus habis kirana senja yang pekat menuju malam yang damai. 

Kala itu, seseorang banyak dibingungkan oleh kalimat indah. Di zaman seperti ini, di mana kalimat indah dengan tameng pengalaman adalah senjata yang kuat untuk menjadi alasan dalam melakukan sesuatu.

Maka, ke mana arah angin, maka itulah yang dituju. Apa-apa yang dikatakan oleh orang lain, maka itu yang diikuti. Hingga tak sadar laksana layang-layang, dikendalikan. Oleh desir angin maupun oleh benang yang ditarik dan diulur oleh manusia lain.

Begitulah, ketika seseorang mendengarkan semua yang berlalu dalam hidup; mendengarnya dalam-dalam hingga memasuki rongga hati dan pikiran. Lelah? Sudah pasti. Bingung? Jangan ditanya.

Tidak semua hal yang berlalu di dunia ini harus didengarkan. Beberapa cukup dibiarkan berlalu. Lebih spesifik lagi, tidak semua kalimat indah lantas menjadi kebenaran. Beberapa ternyata menjadi senjata di kemudian hari tanpa sadar.

Maka, memilah apa-apa yang didengar adalah hal yang penting. Betapa tidak, ketika sudah terlalu banyak hal-hal yang terdengar, pada akhirnya, semua itu menuntun kita pada pertanyaan yang seharusnya kita bisa menjawabnya sendiri. Aku harus bagaimana?

Hidup adalah pilihan. Jangan biarkan orang lain yang memutuskan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Tentang Hari Kemarin

Dan Dia

Kembali Bertemu