Dan Dia

Daun pun gugur. Ini sudah purnama yang ke berapa, ya? Siapa yang sebenarnya saya tunggu? Apakah masih dirinya?

Saya pernah mendengar suatu pernyataan bahwasanya berharap artinya bersiap untuk kecewa. Pada saat itu, harapan yang saya ilhami adalah pengharapan secara luas. Entah kepada waktu, takdir, nasib, atau bahkan makhluk hidup. Semuanya memiliki potensi untuk menjelma menjadi harapan lalu berbunga di angan. Bisa menjadi nyata atau menyublim bersama angin. 

Tahun demi tahun saya lewati. Sungkan rasanya membicarakan tentang hal yang sejujurnya sangat saya hindari. Apalagi jika dikaitkan tentang pengharapan, yang sebenarnya saya sudah tahu mengarah ke mana. 

Dia awalnya hanyalah bayang-bayang dedaunan yang rimbun nan sayu karena tipisnya cahaya mentari. Tersembunyi, tidak pernah saya lirik bahkan tidak saya sadari sebelumnya. Saya hanya mendengar namanya saja yang dibawa oleh berbagai manusia yang saya kenal, lalu mengiyakan. Begitu ia lewat, semuanya berlalu begitu saja. Tidak ada intuisi yang mengatakan bahwa takdir akan membawa saya kepada hari ini.

Awan-awan yang tadi sempat menutup mentari mulai tertiup, sehingga sinar sang surya semakin tajam. Saya yang merasa butuh tabir pelindung tidak sengaja memandang bayangan dedaunan yang tadinya rimbun. Merasa bahwa ini adalah takdir, saya memutuskan berlari ke sana dan menerimanya sebagai tempat singgah. 

Singgah memang sebentar, tetapi peluang untuk kembali tetaplah ada. Saya berdiri di sana, dinaungi olehnya, terlindungi, sesekali diberinya angin berhembus yang menyejukkan serta sudut pandang yang lebih baik daripada sebelumnya. Saya terperangah, sekaligus kagum. Kagum karena ia begitu sederhana, tetapi memberikan keindahan yang membuat hati tertawan. Karena saya berpikiran bahwa tidak ada yang kebetulan atau singkatnya disebut takdir, maka saya memutuskan untuk kembali lagi lain waktu.

Lain waktu hanyalah nama lain dari hari esok. Saya kembali dan memandangi tempat kemarin, masih sama. Dia melambai ditiup angin, memanggil saya sehingga saya langsung menghampirinya. Sembari bercerita, saya berkata terima kasih. Tidak ada balasan darinya, hanya sedikit tawa yang tergambar lewat ranting-ranting yang berada di sekitarnya.

Patah. Rantingnya. 

Saya melihat ranting yang telah remuk redam, patah dan terinjak. Mungkin karena alam, atau karena seseorang lain seperti saya yang mampir. Saya tanyakan, apakah ia terluka. Ia diam saja. Lagi-lagi, dia bukanlah tipe yang bisa diajak bicara. 

Melihat lukanya, saya semakin terikat di sana. Saya memutuskan untuk kembali sampai lukanya sirna. Minimal lebih baik daripada hari ini. Saya punya idealisme bahwa saya bisa memperbaiki miliknya yang patah. Saya pamit dan mengatakan bahwa saya akan kembali lagi nanti. 

Besoknya lagi, saya kembali datang. Ia kali ini tampak lebih energik. Saya merasa senang karena ada sedikit respons yang ia perlihatkan. Minimal bukan hanya tawa, tetapi gerakan rantingnya yang sudah saya obati kemarin, mengisyaratkan bahwa miliknya sudah lebih baik. Saya lega dan gembira. Kali ini, saya menyadari bahwasanya ada sesuatu lain yang mungkin akan membawa saya kembali lagi besok.

Besok, besok, dan besoknya lagi, saya terus kembali. Untuk berbagai alasan, berbagai cerita, dan berbagai emosi. Memberi warna untuknya, dari dedaunan yang hijau, lalu menjadi kuning dan kecokelatan, dan kembali lagi seperti awal. Begitulah saya, selalu berusaha ada bersamanya, meskipun mungkin sekedar lewat dan mampir sejenak.

Singgah kini hanyalah cerita. Lama kelamaan, saya menganggapnya sebagai rumah. Tempat berbagi kehidupan, keluh kesah, atau hanya bercerita tentang hal sederhana yang tidak akan pernah saya bagikan dengan siapa pun. Dia juga sama, menjadikan saya sebagai tempat untuk bercerita, menyampaikan apa yang ia pikirkan, dan berbagai hal lainnya yang membuat saya merasa bahwa ia benar-benar menjadi rumah.

Apakah ia hanyalah rumah tempat berbagi cerita dan keluh kesah? 

Sepertinya tidak. Setidaknya, bagi saya. Seiring berjalannya waktu, musim berganti, saya merasa bahwa dirinya adalah tempat berbagi rasa. Saya mulai merasa gelisah jika tidak ada waktu untuk menengoknya serta menyapanya. Saya mulai gundah ketika saya mulai mendapati, ada pula insan lain seperti saya yang mampir di sana. Saya juga mulai merasa nelangsa ketika dirinya tidak mengirimkan sinyal-sinyal untuk berkunjung atau bertutur sapa. Peliknya, timbul rasa kecewa ketika saya mengalami semua itu.

Saya yang tadinya berpikir bahwa tempat itu adalah tempat yang tepat untuk menjadi rumah, ternyata harus berputar balik. Saya bercermin, dan memahami kondisi ini sebagai harapan yang sama, tercipta oleh diri sendiri. Lalu dikecewakan oleh harapan itu sendiri.

Dan dirinya adalah dia. 

Dia yang selama ini saya tunggu pesannya. Dia yang selama ini saya tunggu sendiri. Dia yang selama ini saya spekulasikan sebagai tempat berbagi rasa. Dia yang memenuhi sejuta asumsi tentang kerinduan di hati saya.

Saya kecewa sejadi-jadinya. Ternyata, hanyalah saya yang menganggapnya sebagai rumah. Namun, dirinya tidak menganggap saya sebagai penghuni, hanyalah tamu.

Dia yang awalnya hanyalah samar, lalu menjadi jelas dan semakin jelas bahwa bukanlah bagian sejati dalam hidup saya. Entah, harus dengan kata-kata apa lagi saya harus bercerita. Saya sudah kapok rasanya, sekaligus bersedih.

Sedih menjadi pilihan terakhir bagi harapan yang sudah sirna, betulkah begitu? Gumam saya. Namun, ada yang bilang jika waktu mampu sembuhkan kesedihan. Lagi-lagi, saya bergumam, apakah bisa tanpa adanya dia? Bukankah sebelumnya saya selalu berbagi cerita termasuk kesedihan kepadanya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Tentang Hari Kemarin

Kembali Bertemu