Media Sosial




Barangkali, kita terlalu tergesa-gesa.
Hingga lupa untuk menutup pintu kembali.
Barangkali, kita terlalu gegabah.
Hingga membiarkan orang lain masuk dan mengetahui cerita kita.

Ada sebuah hal yang dahulu menimbulkan banyak tanda tanya di benak ini. Tatkala jari ini masih hangat sekali dengan salah satu media sosial. Beberapa tahun yang lalu, aku mengunggah beberapa aktivitasku di dunia maya. Beberapa hal tentang apa yang tengah aku lakukan. Seperti, buku yang aku baca, ruangan yang aku tempati, hidangan yang kumakan, prestasi, kesenangan, bahkan lokasi di mana aku berada.
Saat itu, seseorang mengatakan kepadaku. Kurang lebih intinya, begini. 

Jangan terlalu sering mengunggah kehidupanmu di media sosial. Itu berbahaya!  

Aku tidak mengerti —pada saat itu— sebenarnya, apa yang dimaksud berbahaya di sini. Yang kutahu, apa salahnya berbagi cerita. Kalau dipikir, untuk apa memiliki media sosial kalau tidak ada isinya? Ya, tentang kehidupanku. Tentang aku. Begitulah mind set yang ada di benakku pada saat itu. 

Seiring berjalannya waktu, kejenuhan mulai timbul antara aku dan apa yang aku lakukan di media sosialku. Lama kelamaan, aku merasa bosan. Di antara remahan kebosanan itu, aku mulai berselancar, menggeser halaman demi halaman di media sosial. Melihat kehidupan orang lain. Aktivitas orang lain. Mulailah aku berpikir, ah begitu indahnya. 

Entahlah perasaan apa ini. Semakin hari, aku semakin sering memandangi kehidupan orang lain di atas cermin yang disebut media sosial ini. Semua hal begitu indah, bahkan beberapa tidak bisa kumiliki. Aku mulai merasakan perasaan negatif. Aku mulai menginginkan apa yang orang lain miliki, tapi belum tentu bisa aku miliki. Hidup mulai dipenuhi dengan pengandaian.

Tiba-tiba, aku menyadari suatu hal yang penting. Aku mulai terbangun dari angan-angan tersebut. Keadaan berbalik, seperti cermin yang tadinya aku lihat menampilkan semua ilusi yang disebut kebahagiaan itu.

Yang kau lihat bahagia, belum tentu bahagia. Ada ribuan alasan senyuman maya yang menyembunyikan titik-titik kelelahan di dunia maya, demi mendapat sebuah penilaian, prestise.

Yang kau lihat biasa-biasa saja, bisa jadi sangat berbahagia. Hingga dia lupa untuk menunjukkan ke dunia bahwa dia tengah bahagia.

Aku memahaminya, apa yang dimaksud berbahaya, sebagaimana seseorang yang berkata kepadaku bahwa, mengunggah kehidupan ini ke dunia yang begitu luasnya di maya sana, adalah hal yang sangat berbahaya.

Bayangkan, bagaimana jika ada orang lain yang memandangi dengan keinginan yang kuat, hingga mengarahkan ia kepada hari-hari penuh pengandaian. Atau bahkan lebih parah, ia menjadi iri dan dengki terhadap apa yang kita miliki, apa yang kita lalui, dan semua hal tentang kita.

Terlepas dari semua itu, tetaplah bijak dalam mengunggah sesuatu di media sosial. Poin penting yang harus diingat adalah, tidak semua keseharian kita harus tersebar ke ranah publik.



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Tentang Hari Kemarin

Dan Dia

Kembali Bertemu