Sudut Pandang Satu Perempuan

Sebagai salah satu bagian dari masyarakat, khususnya sebagai seorang perempuan, hidup bersama standar kecantikan perempuan yang tertanam di masyarakat dirasa tidak ideal bagiku.

As a girl, kulitku tidak putih. Pun, terdapat beberapa titik-titik di wajahku. Waktu masih kecil, aku masih ingat betul. Seorang anak laki-laki yang kukenal melihatku dan berkata, wah wajah bintik-bintik!

Dan begitulah, standar yang berlaku di masyarakat adalah kontradiksi dari pernyataan sebelumnya. 

Sejak berada di sekolah dasar, aku sudah mendapatkan perspektif bahwa cantik adalah ketika kamu berkulit putih dan hidung mancung. Beranjak saat aku berada di sekolah menengah pertama, poinnya bertambah. Selain dua hal tadi, kamu harus langsing, tinggi, dan seterusnya.

Kosmetik, atau perawatan kecantikan lain bukanlah hal yang kukenal dengan familiar. Namun aku sudah melihat bagaimana teman-teman sekolahku menggunakan sunscreen ketika kami akan keluar rumah. Sempat ada yang menggunakan krim pemutih di wajah, dan hal yang sejenisnya. Hingga menuju titik akhir masa sekolah, memasuki dunia perkuliahan, aku melihat banyak hal yang sangat kontras. 

Kadang, aku merindukan masa-masa itu. Di mana aku merasa percaya diri. Ketika aku berkaca dan yakin bahwa aku itu cantik, dengan seragam sekolah yang aku kenakan. Melangkah keluar rumah dengan percaya diri.

Semakin mendewasa, satu yang aku pahami. Ternyata, I am not that beautiful.

Ketika mayoritas orang dewasa muda seusiaku sudah memiliki definisi glow up tersendiri, aku masih belum menemukan apa-apa yang berubah dariku. Aku ingat betul, beberapa tahun yang lalu aku pernah mendapatkan olok-olok dari teman laki-lakiku tentang warna kulitku yang tidak cerah. Lucunya, aku menjawab tunggu saja nanti, kamu akan kaget melihat perubahanku. Seolah-olah tahu betul kapan hal itu terjadi.

Semua perspektif yang lahir dari pengalaman itu membuatku kecewa dengan diriku yang tidak bisa berubah. Aku kecewa karena aku tidak punya kulit yang cerah... dan aku kecewa karena aku tidak bisa menyelesaikan "masalah" ini.

Aku sempat berpikir untuk mengubah diri, menggunakan berbagai macam perawatan agar kulitku bisa membaik. Berubah menjadi lebih cerah dan mulus tanpa noda, seperti orang-orang yang ada di sekitarku. Namun hasilnya, nihil. Beberapa orang di sekitarku kerap menyarankan produk ini, produk itu, dan produk lain agar digunakan olehku. Hal ini semakin membuatku yakin bahwa kondisiku bukanlah hal yang normal, sampai-sampai orang selalu menyinggung hal ini kala temu. Maka, aku termakan. Aku ikuti semua saran, berharap menemukan jawaban pasti.

Namun yang namanya waktu, ia tega membuat manusia bosan. Aku pun begitu, bosan mulai mendatangiku. Hingga aku menghentikan semua hal yang sebelumnya kulakukan, mengambil napas sejenak.

Hingga waktu yang menjawab pun hadir. Aku tertarik dengan isu-isu mengenai perempuan. Salah satunya adalah tentang standar kecantikan ini. Banyak media yang membantuku memahami lebih dalam isu ini, pun menemukan berbagai opini perempuan lain akan standar tersebut. Seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar bahwa banyak perempuan di usiaku, perempuan lain yang punya krisis dalam diri seperti yang aku alami saat ini. Tiap perempuan punya masalahnya sendiri, pun tidak jarang berbagi solusi. Aku merasa terhibur, baru kali ini aku merasa dirangkul. Opini itu membuka pikiranku, mengaitkannya dengan opini pribadiku. Hingga semua opini itu bertemu dalam satu titik; standar kecantikan itu bisa diciptakan sendiri. 

Aku mulai paham bahwa tidak ada yang salah dengan diriku, menjadi perempuan yang kontras dengan standar kecantikan umum di masyarakat. Puncak utamanya karena skin tone-ku yang tidak cukup cerah untuk dikatakan sebagai "perempuan yang cantik" dalam perspektif beauty standard.

Pada akhirnya, aku mulai belajar bahwa inilah diversity. Perbedaan warna kulit bukanlah masalah. Sehingga aku percaya diri, perlahan. Aku berkata pada diriku, bahwa aku tidak harus kecewa dengan warna kulit atau skin tone yang sekarang aku miliki. It is natural after all. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masih Tentang Hari Kemarin

Dan Dia

Kembali Bertemu